http://kesetiakawanan.com/ |
Perkembangan teknologi
sering dikambinghitamkan sebagai salah satu penyebab lunturnya kebudayaan yang
sudah tertanam dalam masyarakat, walaupun sebenarnya teknologi juga mampu
membawa perubahan ke arah yang lebih baik[1] Melalui pemanfaatan teknologi yang kurang
cermat, para generasi muda cenderung belajar budaya-budaya yang menurut mereka
lebih up to date ketimbang budaya warisan nenek moyang.
Seperti yang dialami
oleh Aditya Roosvianto warga Bangkalan Madura. Aditya menuturkan bahwa
anak-anak muda dilingkungannya jarang yang dapat berbahasa Madura yang enggi
bunten (bahasa halus yang diperuntukkan bagi orang yang lebih tua) karena
cenderung meniru apa yang ada ditelevisi yang diaggap lebih gaul dari bahasa daerah.[2]
Selain itu, Finalis
Abang-None 2014 dari Kepulauan Seribu, Mohammad Eko Prasetya juga berpendapat
bahwa lunturnya kecintaan anak muda disebabkan oleh masuknya arus budaya barat
dan anggapan bahwa budaya seperti wayang kulit hanyalah tontonan bagi orangtua.[3]
Kemudian diwawancarai
via chat facebook pada Minggu (26/10) Mikha Kawangmani menyatakan bahwa ia
lebih memilih suartu acara yang simple dari pada berbau adat arena dinilai dari segi efisiensi biaya yang lebih
mahal jika memakai prosesi adat yang terkesan lebih panjang dan membutuhkan
banyak kelengkapan.
Untuk sementara,melalui
kedua pendapat tersebut ada indikasi bahwa kebudayaan yang memang sudah puluhan
bahkan ratusan tahun ada dalam masyarakat mulai termarjinalkan karena
eksistensinya yang menurun lantra dianggap tidak up to date dan tidak
efisien oleh sebagian genersi muda sekarang ini.
[1]
http://news.okezone.com/read/2014/10/25/65/1056896/budaya-dan-teknologi-itu-ibarat-bayi-kembar
[2]
http://news.okezone.com/read/2014/10/25/340/1056794/tokoh-budaya-madura-luntur-karena-pemerintah-abai
[3]
http://lifestyle.okezone.com/read/2014/10/21/406/1055180/pesta-rakyat-hidupkan-budaya-indonesia
Priska Enggar Kinanthi
Rizky Riana
Tika Septiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar