![]() |
Patung Mama Wulu di
National Gallery of Australia
Sumber: http://www.theaustralian.com.au/news/features/case-of-the-bronze-weaver/story-e6frg6z6-1227097765010
|
Mama Wulu, wanita
kecil mungil yang nampak sedang menenun
sambil menyusui bayinya kini dimuseumkan di National Gallery of Australia (NGA)
Canbbera Australia. Ia sebuah patung perunggu keramat dari Larantuka
Selatan, Flores. Patung ini telah hilang
seraca misterius pada tahun 1977, hingga akhirnya diketahui berada ditangan
seorang kolektor benda antik asal Swiss seperti yang dilansir pada Kompas.com
(25/9).
Melalui press release pada situs resminya, NGA mencatat bahwa patung berukuran panjang 25,8 centimeter (cm), lebar
22,8cm dan tinggi 15,2cm yang dibuat sekitar abad ke-6
sudah berada ada di NGA sejak 25 Agustus 2006.
Pada saat itu, pembelian patung perunggu asal Larantuka tersebut disaksikan secara
langsung oleh direktur galeri Ron Radford dan kurator seni Asia, Robyn Maxwel,
yang pensiun akhir september lalu. Para pengelola NGA
setuju membayar senilai $4 juta empat kali lebih mahal atau senilai 49 milyar rupiah dari
seorang kolektor benda antik berkebangsaan Swiss yang telah menyimpan Mama Wulu selama 30 tahun.
Seperti dilansir dari The Austtralian News (26/10/2006), pihak NGA setuju membeli
patung tersebut karena Mama Wulu dinilai memiliki nilai estetika yang tinggi.
Pada saat Ruppert Myer (Ketua NGA sekaligus Ketua Dewan Kesenian Australia
2006) pertama kali melihat Patung dari Flores itu sangat kagum dan ia
berpendapat bahwa Mama Wulu sangat mencerminkan kebudayaan Asia Tenggara.
Sejalan dengan hal
tersebut, Prof Ronny Rachman Noor, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI
Canberra, Australia, melalui detik.com (10/10) menegaskan bahwa
berdasarkan publikasi dari Ruth Barnes dari Asmolean Museum, Oxford, UK yang
diterbitkan di Oxford Asian Textile Group Newsletter No 37 Juni 2007,
diperkirakan patung perunggu ini dibuat antara tahun 556-596 AD. Kombinasi tahun pembuatan
dan juga bahan pembuatan patung ini membuat Sang Penenun semakin unik dan
berharga sehingga pada tahun 2006 dinobatkan sebagai “ Master Piece of the 6th
Century of Indonesia Sculpture” oleh National Gallery of Australia.
Sebenarnya, pemberitaan
mengenai keberadaan Mama Wulu sudah menjadi bahan perbincangan hangat media
tahun 2006 khususnya oleh media di Australia seperti The Australian dan The Sydney Morning Herald.
Misalnya The Sydney Morning Herald menulis artikel berjudul Gallery Unveils
The $4 Million Woman (26 Oktober 2006), Tiny
Bronze Commands A Giant Price (November 2006) yang membicarakan seputar
asal usul, sisi kemenarikan, dan harga yang terbilang fantastis.
Sekitar bulan September, isu
mengenai patung penenun ini kembali menghangat
di pemberitaan media Australia. Jhohannes Marbun, koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya
(Madya) juga mengaku
mengetahui seputar artefak tersebut dari pemberitaan media di Aussy, the
Australian, dengan judul tulisan: $4m mystery: how
did NGA end up with treasured Indonesian relic? pada tanggal 18 September 2014, seperti yang
dilansir dalam situs berita online RMOLSumsel.com (26/9/2014).
Patung Perunggu itu terakhir
kali diketahui berada di Indonesia, ketika salah seorang wanita dari Larantuka
Selatan, daerah Flores Timur berfoto memegang benda tersebut pada tahun 1977.
Hal tersebut dapat dilacak melalui melalui foto yang dipublikasikan oleh Paul
Michael Taylor (sekarang direktur Program Smithsonian untuk Sejarah Kebudayaan
Asia di
Universitas Smithsonian, Amerika Serikat) dalam buku: Fragile traditions Indonesian Art
in Jeopardy pada tahun 1996, sebagaimana diberitakan oleh the Australian News (22/10/2014).
Sejak dikabarkan
hilang secara misterius dan kemudian muncul foto Mama Wulu bersama seorang
wanita Flores pada tahun 1996, entah bagaimana caranya benda antik itu lalu
diketahui berada di tangan seorang kolektor asal Swiss. Hingga akhirnya, sejak
2006 Mama Wulu tercatat telah berada di NGA.
Hilangnya artefak ini
masih sulit untuk ditelusuri. Menurut Jhohanes Marbun saat melakukan ekspedisi
ke Larantuka pada pertengan bulan lalu, pihak dari Raja Larantuka dan
penghubungnya masih bungkam terkait penjelasan hilangnya Mama Wulu.
“Raja Larantuka dan
penghubungnya masih belum mau memberikan penjelasan”, ungkap dia saat
diwawancarai melalui akun facebook-nya (30/10).
Sedikit berbeda
dengan pemaparan Bambang Budi Utomo Peneliti Utama dari Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) mengungkapkan bahwa sudah mendapat
informasi tentang keberadaan artefak asal Larantuka, Flores, Nusa Tenggara
Timur (NTT) itu, dan tengah mencari literatur berupa buku dan artikel tentang
Flores untuk mencari informasi lebih dalam.
"Memang pada
1983 ada rencana tim dari Puslit Arkenas untuk meneliti artefak itu ke
Larantuka, tapi benda cagar budaya itu tidak ada lagi di sana," ungkapnya
seperti yang dilansir Antara.news (29/9).
Berdasarkan hasil
penelusuran Marbun secara online, hanya terdapat beberapa berita yang
mengatakan bahwa artefak perunggu dari abad ke-6 masehi tersebut dijual. Dalam
bukunya, Taylor juga tidak menyebutkan bahwa benda antik itu diambil secara
ilegal dari Indonesia. Namun, ia menyatakan, fakta bahwa benda itu bernilai
tinggi seharusnya membuat siapa pun berhati-hati akan adanya transaksi
penjualan di baliknya.
Salah satu poin yang
harus ditaati sesuai kode etik ICOM (International
Council of Museum) yaitu sebelum melakukan proses akuisisi artefak harus
dilakukan penelitian tentang asal usul artefak dan kepemilikannya (provenance
research) sebagai dasar penetapan keaslian dan kepemilikan.
Hal ini sejalan
dengan pendapat MADYA. "Apabila asal-usulnya tidak terlalu jelas,
seharusnya GNA memberitahu koleganya di Galeri atau Museum Nasional Indonesia
untuk dimintai informasi," jelasnya seperti yang dilansir JPNN.com (26/9).
Pemerintah harus lakukan perlindungan terhadap benda-benda antik yang yang dimiliki
oleh Indonesia. Pasalnya sudah tidak sekali ini saja benda-benda artefak asli
Indonesia diklaim oleh negara lain. Di sini, pemerintah terutama bagi Menteri
Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan
Menengah, diharapkan mempertegas status kepemilikan warisan budaya atau artefak
Indonesia oleh orang atau negara asing yang diduga diperoleh dengan tidak sah.
Seperti
diberitakan dari situs Berita Sore, regulasi di bidang kebudayaan yang
masih belum jelas seperti terkatung-katungnya pembahasan Rancangan
Undang-Undang Pengelolaan Kebudayaan serta rancangan Peraturan Pemerintah
sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
yang belum disahkan sampai dengan saat ini, yang tentu saja ini juga menjadi
hambatan bagi Indonesia untuk tetap memiliki apa yang menjadi haknya.
Dilansir dari situs
MetroTVnews.com, dikatakan oleh Junus Satrio Atmodjo sebagai Ketua Ikatan Asosiasi Arkeolog Indonesia
(IAAI), bahwa perlindungan bermuara dari informasi tentang keberadaan cagar
budaya dan upaya pengamanan yang diterapkan untuk melindunginya. Belum semua
objek cagar budaya diketahui keberadaannya. Setiap minggu ada saja
penemuan-penemuan baru di seluruh Indonesia yang sebelumnya tidak pernah
diketahui. Kenyataan ini menyebabkan bertambahnya jumlah objek yang harus
diawaasi. Di lain pihak juga semakin banyak yang hilang tanpa diketahui. Pasar
terbesar cagar budaya adalah Bali, Surabaya dan Jakarta sebagai pintu masuk
dari dan ke luar negeri. Namun tidak berarti bahwa kota-kota besar lain
terbebas dari gejala ini.
Kembali lagi
dilansir dari sumber Berita Sore dikatakan oleh Jhohannes Marbun bahwa salah
satu faktor pendukung lainnya yang menyebabkan diklaimnya benda artefak asli
Indonesia oleh negara lain ini adalah karena
lemahnya
respon penyelamatan (kedaruratan) dalam pelestarian kebudayaan khususnya
kebudyaan atau benda-benda peninggalan yang terancam punah. Tentu saja jika
berbicara tentang faktor ini, sangat erat hubungannya dengan respon dan
kepedulian masyarakat terhadap pentingnya pelestarian benda-benda peninggalan
sejarah.
Mendengar
fenomena pengklaiman patung Mama Wulu oleh Australia ini dikhawatirkan mampu
membuat hubungan antara Indonesia-Australia kembali menegang, seperti dilansir
dari situs TribunNews.com.
Hal inilah yang
menjadi sorotan publik, kembali lagi Indoesia mengalami suatu masalah yang
dihadapkan dengan Australia. Sehingga hal ini membuat masyarakat menjadi gerah
dan berusaha untuk meneliti tentang keberadaan patung Mama Wulu yang masih
dianggap kontroversial, pasalnya ada juga sumber yang mengatakan bahwa patung
Mama wulu masih dimiliki oleh warga Larantuka. Bahkan Don Tinus de Diaz Viera
Godinho sebagai kepala suku Larantuka pun mengatakan “ini sudah menjadi
kesepakatan bahwa tidak akan memberikan kesempatan bagi siapapun untuk melihat
patung itu” yang dilansir dari situs The Australian News.
Keanehan
semacam ini semaki membuat masyarakat bertanya-tanya dan menjadi peduli dengan
adanya kasus pengklaiman patung Mama Wulu oleh Australia ini. Jhohannes Marbun
adalah salah satunya yang membentuk Masyarakat Advokasi Warisan Budaya
(MADYA)dan melakukan penelitian serta ekspedisi lebih lanjut mengenai kasus
berpindah tangannya patung Mama Wulu ke
Gallery of Australia (NGA) Canbbera Australia
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar