Barometer Warta Indonesia

Home » , » Penenun Wanita Asli Flores, Dimuseumkan di Australia!!!

Penenun Wanita Asli Flores, Dimuseumkan di Australia!!!

Written By Unknown on Senin, 08 Desember 2014 | 07.36

Patung Mama Wulu di National Gallery of Australia
Sumber:  http://www.theaustralian.com.au/news/features/case-of-the-bronze-weaver/story-e6frg6z6-1227097765010
  

Mama Wulu, wanita kecil mungil yang nampak  sedang menenun sambil menyusui bayinya kini dimuseumkan di National Gallery of Australia (NGA) Canbbera Australia. Ia sebuah patung perunggu keramat dari Larantuka Selatan, Flores. Patung ini telah hilang seraca misterius pada tahun 1977, hingga akhirnya diketahui berada ditangan seorang kolektor benda antik asal Swiss seperti yang dilansir pada Kompas.com (25/9).
Melalui press release pada situs resminya, NGA mencatat bahwa patung berukuran panjang 25,8 centimeter (cm), lebar 22,8cm dan tinggi 15,2cm yang dibuat sekitar abad ke-6 sudah berada ada di NGA sejak 25 Agustus 2006.
Pada saat itu, pembelian patung perunggu asal Larantuka tersebut disaksikan secara langsung oleh direktur galeri Ron Radford dan kurator seni Asia, Robyn Maxwel, yang pensiun akhir september lalu. Para pengelola NGA setuju membayar senilai $4 juta empat kali lebih mahal atau senilai 49 milyar rupiah dari seorang kolektor benda antik berkebangsaan Swiss yang telah menyimpan Mama Wulu selama 30 tahun.
Seperti dilansir dari The Austtralian News (26/10/2006), pihak NGA setuju membeli patung tersebut karena Mama Wulu dinilai memiliki nilai estetika yang tinggi. Pada saat Ruppert Myer (Ketua NGA sekaligus Ketua Dewan Kesenian Australia 2006) pertama kali melihat Patung dari Flores itu sangat kagum dan ia berpendapat bahwa Mama Wulu sangat mencerminkan kebudayaan Asia Tenggara.
Sejalan dengan hal tersebut, Prof Ronny Rachman Noor, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Canberra, Australia, melalui detik.com (10/10) menegaskan bahwa berdasarkan publikasi dari Ruth Barnes dari Asmolean Museum, Oxford, UK yang diterbitkan di Oxford Asian Textile Group Newsletter No 37 Juni 2007, diperkirakan patung perunggu ini dibuat antara tahun 556-596 AD. Kombinasi tahun pembuatan dan juga bahan pembuatan patung ini membuat Sang Penenun semakin unik dan berharga sehingga pada tahun 2006 dinobatkan sebagai “ Master Piece of the 6th Century of Indonesia Sculpture” oleh National Gallery of Australia.
Sebenarnya, pemberitaan mengenai keberadaan Mama Wulu sudah menjadi bahan perbincangan hangat media tahun 2006 khususnya oleh media di Australia seperti The Australian dan The Sydney Morning Herald. Misalnya The Sydney Morning Herald menulis artikel berjudul  Gallery Unveils The $4 Million Woman (26 Oktober 2006), Tiny Bronze Commands A Giant Price (November 2006) yang membicarakan seputar asal usul, sisi kemenarikan, dan harga yang terbilang fantastis.
Sekitar bulan September, isu mengenai patung penenun ini kembali menghangat di pemberitaan media Australia. Jhohannes Marbun, koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Madya) juga mengaku mengetahui seputar artefak tersebut dari pemberitaan media di Aussy, the Australian, dengan judul tulisan: $4m mystery: how did NGA end up with treasured Indonesian relic? pada tanggal 18 September 2014, seperti yang dilansir dalam situs berita online RMOLSumsel.com (26/9/2014).
Patung Perunggu itu terakhir kali diketahui berada di Indonesia, ketika salah seorang wanita dari Larantuka Selatan, daerah Flores Timur berfoto memegang benda tersebut pada tahun 1977. Hal tersebut dapat dilacak melalui melalui foto yang dipublikasikan oleh Paul Michael Taylor (sekarang direktur Program Smithsonian untuk Sejarah Kebudayaan Asia di Universitas Smithsonian, Amerika Serikat) dalam buku: Fragile traditions Indonesian Art in Jeopardy pada tahun 1996, sebagaimana diberitakan oleh the Australian News (22/10/2014).
Sejak dikabarkan hilang secara misterius dan kemudian muncul foto Mama Wulu bersama seorang wanita Flores pada tahun 1996, entah bagaimana caranya benda antik itu lalu diketahui berada di tangan seorang kolektor asal Swiss. Hingga akhirnya, sejak 2006 Mama Wulu tercatat telah berada di NGA.
Hilangnya artefak ini masih sulit untuk ditelusuri. Menurut Jhohanes Marbun saat melakukan ekspedisi ke Larantuka pada pertengan bulan lalu, pihak dari Raja Larantuka dan penghubungnya masih bungkam terkait penjelasan hilangnya Mama Wulu.
“Raja Larantuka dan penghubungnya masih belum mau memberikan penjelasan”, ungkap dia saat diwawancarai melalui akun facebook-nya (30/10).
Sedikit berbeda dengan pemaparan Bambang Budi Utomo Peneliti Utama dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) mengungkapkan bahwa sudah mendapat informasi tentang keberadaan artefak asal Larantuka, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu, dan tengah mencari literatur berupa buku dan artikel tentang Flores untuk mencari informasi lebih dalam.
"Memang pada 1983 ada rencana tim dari Puslit Arkenas untuk meneliti artefak itu ke Larantuka, tapi benda cagar budaya itu tidak ada lagi di sana," ungkapnya seperti yang dilansir Antara.news (29/9).
Berdasarkan hasil penelusuran Marbun secara online, hanya terdapat beberapa berita yang mengatakan bahwa artefak perunggu dari abad ke-6 masehi tersebut dijual. Dalam bukunya, Taylor juga tidak menyebutkan bahwa benda antik itu diambil secara ilegal dari Indonesia. Namun, ia menyatakan, fakta bahwa benda itu bernilai tinggi seharusnya membuat siapa pun berhati-hati akan adanya transaksi penjualan di baliknya.
Salah satu poin yang harus ditaati sesuai kode etik ICOM (International Council of Museum) yaitu sebelum melakukan proses akuisisi artefak harus dilakukan penelitian tentang asal usul artefak dan kepemilikannya (provenance research) sebagai dasar penetapan keaslian dan kepemilikan.
Hal ini sejalan dengan pendapat MADYA. "Apabila asal-usulnya tidak terlalu jelas, seharusnya GNA memberitahu koleganya di Galeri atau Museum Nasional Indonesia untuk dimintai informasi," jelasnya seperti yang dilansir JPNN.com (26/9).
Pemerintah harus lakukan perlindungan terhadap benda-benda antik yang yang dimiliki oleh Indonesia. Pasalnya sudah tidak sekali ini saja benda-benda artefak asli Indonesia diklaim oleh negara lain. Di sini, pemerintah  terutama bagi Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah, diharapkan mempertegas status kepemilikan warisan budaya atau artefak Indonesia oleh orang atau negara asing yang diduga diperoleh dengan tidak sah.
Seperti diberitakan dari situs Berita Sore, regulasi di bidang kebudayaan yang masih belum jelas seperti terkatung-katungnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Kebudayaan serta rancangan Peraturan Pemerintah sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang belum disahkan sampai dengan saat ini, yang tentu saja ini juga menjadi hambatan bagi Indonesia untuk tetap memiliki apa yang menjadi haknya.
Dilansir dari situs MetroTVnews.com, dikatakan oleh Junus Satrio Atmodjo sebagai  Ketua Ikatan Asosiasi Arkeolog Indonesia (IAAI), bahwa perlindungan bermuara dari informasi tentang keberadaan cagar budaya dan upaya pengamanan yang diterapkan untuk melindunginya. Belum semua objek cagar budaya diketahui keberadaannya. Setiap minggu ada saja penemuan-penemuan baru di seluruh Indonesia yang sebelumnya tidak pernah diketahui. Kenyataan ini menyebabkan bertambahnya jumlah objek yang harus diawaasi. Di lain pihak juga semakin banyak yang hilang tanpa diketahui. Pasar terbesar cagar budaya adalah Bali, Surabaya dan Jakarta sebagai pintu masuk dari dan ke luar negeri. Namun tidak berarti bahwa kota-kota besar lain terbebas dari gejala ini.
Kembali lagi dilansir dari sumber Berita Sore dikatakan oleh Jhohannes Marbun bahwa salah satu faktor pendukung lainnya yang menyebabkan diklaimnya benda artefak asli Indonesia oleh negara lain ini adalah karena lemahnya respon penyelamatan (kedaruratan) dalam pelestarian kebudayaan khususnya kebudyaan atau benda-benda peninggalan yang terancam punah. Tentu saja jika berbicara tentang faktor ini, sangat erat hubungannya dengan respon dan kepedulian masyarakat terhadap pentingnya pelestarian benda-benda peninggalan sejarah.
Mendengar fenomena pengklaiman patung Mama Wulu oleh Australia ini dikhawatirkan mampu membuat hubungan antara Indonesia-Australia kembali menegang, seperti dilansir dari situs TribunNews.com.
Hal inilah yang menjadi sorotan publik, kembali lagi Indoesia mengalami suatu masalah yang dihadapkan dengan Australia. Sehingga hal ini membuat masyarakat menjadi gerah dan berusaha untuk meneliti tentang keberadaan patung Mama Wulu yang masih dianggap kontroversial, pasalnya ada juga sumber yang mengatakan bahwa patung Mama wulu masih dimiliki oleh warga Larantuka. Bahkan Don Tinus de Diaz Viera Godinho sebagai kepala suku Larantuka pun mengatakan “ini sudah menjadi kesepakatan bahwa tidak akan memberikan kesempatan bagi siapapun untuk melihat patung itu”  yang dilansir dari situs The Australian News.
Keanehan semacam ini semaki membuat masyarakat bertanya-tanya dan menjadi peduli dengan adanya kasus pengklaiman patung Mama Wulu oleh Australia ini. Jhohannes Marbun adalah salah satunya yang membentuk Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA)dan melakukan penelitian serta ekspedisi lebih lanjut mengenai kasus berpindah tangannya patung Mama Wulu ke Gallery of Australia (NGA) Canbbera Australia ini.

Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Mas Template
Copyright © 2011. Warta Satu - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger