![]() |
Seni Musik Kontemporer |
Budaya
kontemporer atau lebih tepatnya seni kontemporer hadir di tengah kesibukan
masyarakat yang kian padat. Sebagai contoh jaman sekarang
sudah jarang orang yang mau menikmati kesenian murni tradisional. Ketika masyarakat
ibukota seperti daerah di Jakarta mulai mengadopsi budaya barat, mengedepankan
life style dan mengesampingkan kesenian tradisionalkesenian tradisionalpun
jarang ada peminatnya kecuali ada tokoh-tokoh yang mau melestarikan kesenian
tradisionalnya. Hal tersebut dikarenakan mindset yang berbeda dengan seniman
dan penikmat seni. Ketika masyarakat ibu kota memiliki tujuan mencari uang,
maka tidak akan bisa disatukan dengan tujuan seorang seniman dan penikmat seni
yang murni akan kepuasan batin. Dengan inilah budaya dan kesenian kontemporer
lahir untuk mengingatkan masyarakat bahwa mereka masih memiliki kesenian yang
bisa mengikuti perkembangan jaman seiring dengan kebutuhan hidup orang masa
kini.
Ketika
kita membahas musik kontemporer, maka kita akan teringat akan nama yang tak
asing lagi di telinga seperti Djadug Fahriyanto, Soimah bahkan Jogja Hip Hop
Foundation (JHF). Namun kita akan keluar dari tokoh-tokoh seni termashyur itu
dan akan menyoroti salah seorang seniman kontemporer yang kini sedang mengembangkan
seni musik kontemporer di Tarakan, Kalimantan. Wanita yang berprofesi sebagai
guru di SMK N Tarakan ini kerap di sapa
Bu Enok Guru Seni yang Gila. Sapaan tersebut bukanlah sapaan ejekan yang
menyakitkan, namun menurutnya sapaan tersebut adalah pengahargaan yang
diberikan untuknya dari orang-orang yang kagum dengan karya seninya. “Loh kalau karya saya ngga gila ngga ada
yang mau nonton!” katanya tegas dan lantang bahkan speaker handphone yang
sedikit eror pun tak bisa menghalangi kata-katanya yang menegaskan bahwa karya
seni itu harus gila, kalau tidak gila orang tidak mau menontonnya.
Tidak
mudah mengenalkan seni kontemporer khususnya musik kontemporer yang tergolong
baru ini pada khalayak. Bahkan beberapa seniman daerahpun sulit menerima
datangnya musik kontemporer. Swara Etnika Perkusi contohnya, grup perkusi siswa
SMK 3 Tarakan ini bentukan Bu Enok yang menggabungkan anatara alat musik jawa
yaitu saron dan alat musik khas Indonesia timur yaitu jimbe atau tifa ditambah
alat musik modern lainnya simbal drum, awalnya dipandang sebelah mata karena
menurut orang-orang hal tersebut tidak mungkin dan aneh. “Tapi ya pelan-pelan saya buktikan, ternyata hanya dengan saron, jimbe
dan simbal drum saja di Tarakan sudah Heboh” ceritanya. Menurut Bu Enok
namaya berkesenian, ingin menapilkan inovasi baru namun tetap tidak
menghilangkan pakem dari seni tersebut. Karena jaman sekarangpun sulit
menemukan orang yang benar-benar penikmat seni pure seni tradisional. Jadi memang harus berinovasi dengan
mengkolaborasikan seni khususnya seni musik dengan cara menggabungkan unsur
dari beberapa kesenian daerah atau modern.
Sedangkan
konsep musik kontemporer bukanlah musik yang harus kita dengarkan berjam-jam
dan terkadang cenderung mengarah ke dalam kebosanan, namun musik yang hanya
ditampilkan 5 menit saja namun dikenang. Walau malam semakin larut, namun Bu
Enok seorang seniman gila ini masih semangat bercerita akan indahnya dan
nikmatnya mencipta musik kontemporer melalui facebook call. “Jangan sampai berpikiran kalau berkesenian
sama saya, harus menang tapi cobalah berpikir kita harus beda dan slalu
diingat. Karen bisa memberikan suatu yang baru dan selalu diingat, org akan
lebih senang ketika kamu tampil 5 menit tapi orang itu akan mengenang selamanya
dari pada kamu tampil berjam-jam tapi orang akan bosen. Karena berkesenian itu
kepuasan batin dan seni itu aneh, kalaungga aneh ngga mau ditonton”.
Phulia Negara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar